-->
Kopi Alinea

K13 Tergantikan Kurikulum Merdeka: Apa Kabar Dengan Sekolah PAUD Di Desa?

Senin, 04 Desember 2023
Penulis:

Muhammad Busyro Karim
Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan, FIP, Universitas Negeri Surabaya


Pada tahun pelajaran 2013/2014 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia secara resmi memberlakukan kurikulum baru, yaitu kurikulum tahun 2013 atau sering disingkat dengan K13 pada satuan pendidikan SD, SMP dan SMA. Pada implementasinya K13 tersebut tidak diberlalukan secara keseluruhan, namun diberlakukan secara bertahap, di mana pada tahun pertama hanya diberlakukan untuk siswa kelas satu dan kelas empat tingkat SD, kelas satu tingkat SMP dan tingkat SMA. Sementara pada tahun kedua, K-13 diberlakukan untuk siswa kelas dua dan kelas lima tingkat SD, serta kelas dua tingkat SMP dan tingkat SMA. Adapun pada tahun ketiga, K-13 diterapkan pada kelas empat dan enam tingkat SD dan kelas tiga tingkat SMP dan tingkat SMA. 

Bagaimana dengan K13 pada satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)? Kurikulum K13 PAUD diberlakukan mulai tahun ajaran 2014/2015. K13 PAUD ini mengacu pada Standar Nasional PAUD sesuai Permendikbud No. 137 Tahun 2014. Kurikulum ini dirancang dengan karakteristik mengoptimalkan perkembangan anak pada aspek nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni dengan menggunakan pembelajaran tematik, penilaian autentik, dan memberdayakan peran orang tua dalam proses pembelajaran.

Berselang 8 tahun semenjak diberlakukannya K13 pada satuan PAUD, Kemendikbudristek mengeluarkan kembali kurikulum baru dengan nama Kurikulum Merdeka. Pada tahun pertama peluncuran kurikulum merdeka pada Februari 2022, Kemendikbudristek memberikan pilihan atau kebebasan pada satuan pendidikan dalam penggunaan Kurikulum. Satuan pendidikan dapat memakai Kurikulum lama (K13), Kurikulum Darurat ataupun menerapkan Kurikulum merdeka.

Lalu, kurikulum merdeka untuk satuan PAUD seperti apa? Kurikulum Merdeka yang ada di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yaitu memberikan ruang seluas-luasnya kepada peserta didik di satuan PAUD untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodradnya sebagai anak Indonesia. Karakteristik Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran yang fleksibel. Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan masing-masing peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Sebelum menerapkan kurikulum Merdeka, terlebih dahulu mempersiapkan beberapa hal, yaitu: kesiapan kepala sekolah, kesiapan guru, kesiapan perangkat ajar, kesiapan siswa dan orang tua. Bagaimana kesiapan satuan PAUD yang berada di desa? Ternyata, menerapkan kurikulum Merdeka di satuan PAUD yang terletak di desa memiliki tantangan tersendiri. Hal ini jauh berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh satuan PAUD yang ada di kota.

Di antara beberapa tantangannya adalah kecukupan dan kesiapan guru dalam mempraktekkan Kurikulum Merdeka. Kompetensi yang harus dikembangkan secara utuh oleh guru PAUD mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional dengan kualifikasi akademik guru PAUD minimal memiliki ijazah Diploma empat (D-IV) atau Sarjana (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini, dan kependidikan lain yang relevan dengan sistem pendidikan anak usia dini, atau psikologi yang diperoleh dari program studi terakreditasi, dan memiliki sertifikat Pendidikan Profesi Guru (PPG) PAUD dari perguruan tinggi yang terakreditasi. 

Seorang guru PAUD tidak hanya perlu memahami konsep-konsep dalam Kurikulum Merdeka dan menyiapkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), guru PAUD juga harus menyiapkan modul ajar, asesmen diagnostik, serta adanya projek penguatan profil pelajar pancasila. Hal inilah yang menjadi beban tersendiri bagi seorang guru PAUD.

Nah, kondisi ideal ini akan sangat sulit diterapkan di desa. Di desa masih banyak ditemukan guru di PAUD belum memiliki ijazah terakhir yang sesuai dengan standar nasional di atas. Sulitnya memenuhi standar kualifikasi akademik di atas karena jumlah guru yang terbatas atau para lulusan dari sekolah menengah atas (SMA) tidak tertarik untuk melanjutkan pendidikan tinggi di bidang ke-PAUD-an. Mereka lebih banyak memilih program studi yang dianggap menjanjikan masa depan lebih baik setelah selesai kuliah dibandingkan memilih program studi pendidikan guru PAUD. Bahkan, sering muncul stigma di masyarakat desa, untuk apa belajar tinggi kalau hanya belajar bernyanyi dan bermain. 

Telah menjadi hal lumrah di masyarakat desa, bahkan mungkin di seluruh Indonesia, bahwasanya guru PAUD lebih banyak berjenis kelamin perempuan. Entah ke-lumrah-an ini bersumber dari mana, tidak jelas asalnya. Padahal jika dicermati pada peraturan perundang-undangan, tidak ada satupun pasal-pasal yang menyatakan bahwa guru PAUD harus berjenis kelamin perempuan. Kondisi inilah yang menjadi keengganan para lulusan SMA yang berjenis kelamin laki-laki memilih program studi pendidikan guru PAUD. “laki-laki kok jadi guru paud”.

Tantangan berikutnya adalah peran orang tua. Keberhasilan pendidikan bukan lagi ditentukan oleh sekolah saja tetapi ditentukan oleh seluruh insan pendidikan termasuk orang tua di dalamnya. Orang tua dapat membantu anak memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan karakter yang dibutuhkan anak. Orang tua perlu memberikan dukungan moral kepada anak untuk memotivasi dan mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran yang diusung oleh kurikulum merdeka. Orang tua dapat membantu anak dalam mengembangkan karakter yang positif, seperti rasa percaya diri, kepemimpinan, tanggung jawab, etika, dan moralitas. 

Pada kenyataanya apakah demikian yang terjadi? Apapun kurikulum yang digunakan di PAUD, entah K13 atau kurikulum Merdeka, pada dasarnya ada “agenda tersembunyi” yang ingin dicapai oleh orang tua. Agenda itu adalah kemampuan anak untuk bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Para orang sangat berkeinginan agar setelah lulus dari paud, anak memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Orang tua “seakan memaksakan” kehendak pada pihak lembaga agar anak memiliki kemampuan calistung, dengan demikian anak memiliki modal utama untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan dasar.   

Dengan segala upaya, pihak lembaga mengabulkan keingina orang tua. Kegiatan calistung dilakukan setelah kegiatan pembelajaran usai (sebagai materi tambahan). Ada juga yang melakukan kegiatan calistung di hari libur sekolah. Sekolah masih mewajibkan anak didiknya untuk mengikuti pembelajaran calistung, meskipun dengan durasi waktu pembelajaran yang lebih singkat dari jam pembelajaran biasanya. Umumnya kegiatan-kegiatan ini khususnya untuk anak PAUD kelompok B (usia 5-6). 

Pada akhirnya, Indonesia bukanlah negara Finlandia, di mana sebagian besar perumus konsep pendidikan berkiblat. Indonesia is Indonesia, dengan 1001 permasalahan pendidikan yang selalu silih berganti. Terima kasih untuk para perumus kurikulum pendidikan di Indonesia, yakinlah di suatu masa “wajah” pendidikan di Indonesia akan setara dengan negara Finlandia.

Share This :

0 Comments